21985 / 21446
kesrasetda@bulelengkab.go.id
Bagian Kesejahteraan Rakyat

PURA BANUA KAWAN SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DEWI KESUBURAN

Admin kesrasetda | 21 Januari 2022 | 853 kali

Pura Banua/Pura Banua kawan terletak di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap keselatan. Di sini diistanakan Batari Sri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. Dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih, artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup. Pura Banua merupakan salah satu kompleks Pura Besakih yang berisi simbol-simbol sakral yang dapat kita gali nilai-nilai simbolisnya. Ada nilai-nilai penuh makna di balik simbol yang berada di Pura Banua tersebut. Secara umum Pura Banua itu adalah sebagai media pemujaan pada Tuhan untuk memohon kekuatan spiritual agar umat mampu mengelola kekayaan alam ciptaan Tuhan itu secara produktif dan efisien.

Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran. Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan. Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu. Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura. Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.

Adanya balai Pesamuan dengan delapan tiang itu sebagai simbol bahwa dalam mengelola bumi ini dengan hasil-hasilnya hendaknya dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat luas. Segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan bersama harus dipikirkan bersama dengan semangat musyawarah, sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan. Kekayaan alam yang dikandung bumi ini bukan untuk suatu golongan tertentu saja. Kekayaan tersebut untuk semua umat manusia, termasuk makhluk hidup lainnya. Demikianlah nampaknya nilai-nilai yang tersembunyi di balik simbol sakral di Pura Banua Besakih.

Disetiap tahunnya di Para Banua Kawan dilaksanakan beberapa upacara,diantaranya upacara piodalan yang jatuh pada Sukra Umanis Kelawu,selain itu juga dilaksanakan upacara Ngusaba Buluh dan Ngusaba Ngeed yg dilaksanakan setelah adanya Ngusaba di Pura Dalem Puri.Upacara Ngusaba Buluh yang bermakna Bulu atau semua Tumbuhan yang bertujuan Memohon kemakmuran Kehadapan Ida Bhatara Sri sebagai manifestasi Ida Hyang Widhi Wasa sebagai Dewi Kemakmuran yang disimbulkan melalui Pohon Buluh dan Aon ( Abu Kayu Bakar ), yang selanjutnya di Taburkan dan Disebarkan pada Sawah dan Ladang guna mendapat hasil Panen yang berlimpah.Upacara Ngusaba Ngeed di Pura Banua Kawan Besakih yaitu sebagai Ungkapan rasa Syukur atas pertemuan Manifestasi Dewa Wisnu dalam Perwujudan dan sebutan beliau Dewa Rambut Sedana dengan Manifestasi SaktiNYA yaitu Dewi Sri dalam sebuah Prosesi Upacara Pernikahan, dengan harapan melalui prosesi Upacara ini Beliau mampu menciptakan dan menghasilkan rasa kesejahteraan serta Kesuburan kepada umatnya.Selama ini juga pada saat upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih dilaksanakan juga upacara Bhakti Pakideh di Pura Banua Kawan yang jatuh di setiap Sasih Kedasa ( Purnama Kedasa).Sesuai dengan kesepakatan dari Pemerintah Propinsi Bali,Kabupaten Buleleng menjadi penanggung jawab setiap adanya upacara di Pura Banua Kawan Besakih.

Sumber :

http://www.babadbali.com/pura/plan/besakih/pr-banua-kawan.htm

https://ban.wikipedia.org/wiki/Pura_Banua_Kawan

Penyusun : Ida Ayu Widyastari, S.S. Editor (GA)