Sabtu Kliwon Wuku Wayang atau lebih dikenal di Bali dengan Tumpek Wayang. Upacara Tumpek Wayang jatuh setiap 6 bulan (210 hari) menurut kalender Bali jatuh pada Hari Sabtu / Saniscara Kliwon Wuku Wayang. Menurut tradisi di Bali, seorang anak yang lahir pada Wuku Wayang harus melukat dengan Tirta Wayang Sapuh Leger. Hari Tumpek Wayang sebagai hari suci yang mengarah pada peruwatan atau pesucian bagi kelahiran di wuku wayang. Jika ia terlahir di wuku wayang bakal ada pertunjukan wayang yang dinamakan wayang sapuh Leger.
Menurut beberapa nara sumber, Kata sapuh memiliki arti peruwatan, leger memiliki arti mala atau kotoran yang ada pada diri manusia itu sendiri. Jadi kata “sapuh leger” berarti pembersihan atau peruwatan kotoran atau mala secara niskala yang dibawa dari lahir oleh orang yang lahir di wuku wayang tersebut. Untuk Wuku wayang itu sendiri terdiri dari 7 hari dalam seminggu penuh, diawali dari hari Minggu sampai hari Sabtu, dimana di hari Sabtunya dirayakan sebagai hari Tumpek Wayang.
Saat itu, pementasan Wayang Sapuh Leger sendiri umumnya bercerita tentang Hyang Rare Kumara yang dikejar-kejar oleh kakaknya Hyang Bathara Kala untuk dibunuh. Hyang Rare Kumara dikisahkan memiliki karakter berani menantang kakaknya Hyang Bathara Kala. Mereka berdua disebutkan sama-sama terlahir di wuku wayang. Atas ide sang Ayah, Bathara Siwa, dibuatlah trik supaya Hyang Bathara Kala tidak bisa menangkap adiknya Hyang Rare Kumara. Di saat ada pertunjukan wayang, Hyang Bathara Kala memburu adiknya, tetapi si adik berhasil sembunyi di bawah bumbung gender (alat musik) yang ada pada pertunjukan wayang itu. Hyang Bathara Kala mengamuk sampai menjatuhkan upakara dalam pertunjukan wayan tersebut. Hingga membuat si dalang marah, dan minta Bathara Kala untuk mengembalikan upakara seperti sebelumnya.
Tetapi Bathara Kala tidak menerimanya, hingga dibuatlah persetujuan bila ada orang terlahir di wuku wayang, setelah diupacarai dengan Wayang Sapuh Leger, Bathara Kala jangan kembali menggoda atau mengusik apa lagi membunuh orang tersebut. Orang yang lahir di wuku wayang, umumnya memiliki watak yang keras dan berprilaku yang aneh. Seperti sering marah-marah, meminta sesuatu yang yang aneh-aneh, bila tidak dikasi akan marah. Kemudian berani melawan orang-tua. Atau pendiam, tapi saat mengambil pekerjaan, dia senang mengambil pekerjaan aneh-aneh yang tidak sesuai dengan yang di tugaskan.
Tumpek wayang erat kaitannya dengan cerita Langka Kumara yang ingin dimakan oleh Batara Kala, karena Langka Kumara lahir bertepatan dengan Wuku Wayang. Ada tradisi unik di hari Tumpek Wayang ini, yaitu sehari sebelum Tumpek Wayang atau disebut Paksa Ala yaitu hari yang diyakini Sang Bhuta Kala turun ke dunia. Pada hari ini disebut hari yang tidak baik atau tenget.
pelaksanaan upacara tumpek wayang pada pekarangan rumah, umat Hindu pada hari sebelum Tumpek Wayang memasang sesuwuk atau penanda berupa potongan pandan berduri yang di sisipkan di bagian bangunan rumah atau pelinggih atau disebut meselat. Keesokan harinya yaitu tepat pada hari Tumpek Wayang, pagi hari sesuwuk tersebut diambil dan dikumpulkan diikat benang tridatu di letakkan di atas sidi lengkap dengan mesui, prayascita dan upakara lainnya kemudian di letakkan di halaman luar rumah (lebuh) lengkap dengan api tangkep. Hal ini dilakukan sebagai simbol" somia" kekuatan Bhuta menjadi Dewa. Dengan kata lain memohon keselamatan kepada Sang Hyang Widhi.
Hal ini bermakna bahwa umat sudah berhasil melawan kekuatan negatif dan tetap berpegang teguh pada kekuatan Dharma. Hal ini dari sidi atau niru yang ada lubangnya yang menandakan umat sudah berhasil menyaring kekuatan negatif. Pandan sebagai penangkal dan penyerap energi negatif sudah di keluarkan dari rumah. Sehingga setelah ini diharapkan umat Hindu semakin kuat dan semakin mampu menahan diri serta tetap berjalan di jalan Kebenaran.
Jika direfleksikan dalam kondisi kekinian, Tumpek Wayang berupaya memberi pesan bahwa manusia berada di dalam dan terikat oleh waktu. Hanya waktu yang abadi di alam semesta, sementara yang ada di dalamnya mengalami perubahan. Suatu kelahiran atau utpheti, pemeliharaan atau sthiti, dan penghancuran kembali atau pralina ada di dalam waktu.
Di Bali ada ilmu Wariga yang ilmu tentang kesadaran akan waktu. Hendaknya dilakukan upaya membangun optimisme oleh semua kalangan. Hal-hal yang terlihat buruk harus dibalikkan menjadi baik. “Dalam cerita, Bhatara Kala itu kan digambarkan menyeramkan. Ini sama saja dengan virus. Mari kita bangun optimisme, pahami masalah dan gejalanya, dan jangan menyebar ketakutan yang justru melemahkan imunitas kita,”
https://disbud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/36-rahajeng-tumpek-wayanghttps://balinesia.id/read/tumpek-wayang-momentum-menyadari-eksistensi-waktu-sebagai-realitas
Penyusun : Kadek Lily Savitri, S.Spd.
Editor (GA)