Banyaknya jenis Upacara dan
Upakara yang ada di bali dari yang terbesar dan megah dibuat sebagai sarana
untuk ungkapan Rasa Bhakti dan Syukur Masyarakat umat Hindu Bali tentunya tak
lepas dari manfaatdan Funsinya masing masing. Banyak pula yang beranggapan
bahwa sarana upacara dibali terkesan membuang – buang Sarana Bahan dan Sarana
yang digunakan, padahal jika ditelisik secara mendalam makna dan arti dari
sebuah Sarana yang digunakan Sarat dengan makna dan Arti yang sangat mendalam.
Dan pada kesempatan ini dapat kita ulas dari bentuk sarana / prasarana terkecil
dalam upacara dibali yang kita sebut segehan. Segehan atau
Banten Segehan adalah salah satu Banten Upakara tingkat kecil atau
sederhana dari Upacara bhuta Yadnya. Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi
disebut dengan Tawur.
Jika kita lihat dari arti kata Segehan
dapat kita ulas Berasal dari Kata SUGUH-AN dalam Bahasa Bali menjadi SEGEH-AN
yang berarti Persembahan yang tentunya dihadapkan kepada Manifestasi Tuhan
dalam Bentuk Bhuta Kala sebagai langkah menjaga Keharmonisan dan Keseimbangan
Alam. Sesuai dengan Ajaran Agama Hindu Tri Hita Karana dalam Bentuk Palemahan
atau disebut tetap menjaga keharmonisan antaran Manusia Dengan Alam Sekitar
beserta isinya secara Mata Jasmani dan Rohani. Dapat juga kita artikan Segehan
artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini segehan di haturkan kepada para
Bhutakala agar tidak mengganggu dan juga Ancangan Iringan Para Betara dan
Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh
pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan
segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh
negative dari limbah tersebut. Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang
harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). Segehan
ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah atau
sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk
bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar
Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan
bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan
makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya
pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau,
pada talenan.
Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.
Jenis-Jenis
Banten Segehan
1. Segehan Kepel Putih
Segehan
kepel putih ini adalah segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di
haturkan setiap hari.
2. Segehan Putih Kuning
Sama
seperti segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna
kuning.
biasanya
segehan putih kuning ini di haturkan di bawah pelinggih adapun doanya sebagai
berikut :
Om.
Sarwa Bhuta Preta Byo Namah
Artinya :
Hyang widhi ijnkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada bhuta preta
seadanya
3. Segehan Kepel Warna Lima (Manca Warna)
Sama
seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih,
merah, kuning, hitam dan brumbun. Dan penempatan warna memiliki tempat atau
posisi yang khusus sebagi contoh ;
Warna
Hitam menempati posisi Utara.
Warna
Putih menempati posisi Timur.
Warna
merah menempati posis selatan.
Warna
kuning menempati posisi Barat.
Sedangkan
Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas menempati posisi di
tengah tengah, yang bisa di katakan Brumbun tersebut sebagai Pancernya.
Segehan
Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemedal)atau
di perempatan jalan adapun doa dari segehan manca warna ini adalah :
Om.
Sarwa Durga Prate Byo Namah
Artinya :
Hyang
Widhi Ijinkan Hamba Menyuguhkan Sajian Kepada Durga Prete Seadanya
4. Segehan Cacahan
Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi
lima atau delapan tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh
atau Sembilan buah tangkih.
Kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih, sebagai berikut:
5 tangkih untuk tempat nasi yang
posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu
bawang, jahe dan garam.
1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
kemudian diatas disusun dengan canang genten.
Kalau menggunakan 9 (sembilan) tangkih,sebagai
berikut:
9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di
mengikuti arah mata angin.
1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu
bawang, jahe dan garam.
1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
kemudian diatas disusun dengan canang genten.
Keempat jenis segehan diatas dapat dipergunakan
setiap kajeng kliwon atau pada saat upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan
penggunaanya sesuai dengan kemampuan.
5. Segehan Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini
biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal
dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar
lainnya. Adapun isi dari segehan agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu,
ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum
dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi
daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem
dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum
tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut
kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak
dara).
Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah
pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep,
kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata
angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat
keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian
dipecahkan, di”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan. Doa dalam
menghaturkan segehan ini adalah :
Om. Arwa kala perete byo namah.
Artinya :
Hyang Widhi Ijinkanlah Hamba Menyuguhkan
Sajian Kepadakala Preta Seadanya.
Setiap menghaturkan segehan lalu di siram dengan
tetabuhan, tetabuhan ini bisa menggunakan air putih yang bersih, atau tuak,
brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang di haturkan.
Ketoka menyiram atau menyiratkan kita ucapkan doa :
Om. Ibek Segar, Ibek Danu, Ibek Bayu,
Premananing Hulun.
Artinya :
Hyanng widhi semoga hamba di berkahi bagaikan
melimpahnya air laut, air danau, dan memberi kesegaran jiwa dan batin hamba.
Unsur-unsur Banten Segehan
Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki
filosofi didalamnya, berikut penjelasannya:
Alas dari daun / taledan kecil yang berisi
tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan arah
mata angin.Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhinedaJahe, secara imiah
memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh
emosional.Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang
dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah
sosial (cuek)Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana
yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik
pinaka panelah sahananing ngaletehin).
Di atasnya disusun canang genten.
Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis
alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk
membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk
mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua
bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi
hilang/mati
Editor (GA)