Umat
Hindu Bali akan merayakan Hari Raya Suci Galungan pada Rabu. Hari raya yang
jatuh setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Bali, yaitu pada hari
Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) identik dengan tradisi
memenjor.
Tujuan
pemasangan penjor sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bhakti dan
terima kasih kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam prabawa-NYA sebagai Hyang
Giripati. Pemasangan penjor dilaksanakan pada hari Anggara Wage wara Dungulan
(sehari sebelum Galungan) setelah menghaturkan banten Penampahan Galungan.
Akan
tetapi, saat ini banyak orang yang memasang penjor sebelum penampahan yang
kebayakan dilakukan pada hari Minggu. Ada yang beralasan kesibukan saat
penampahan tidak sempat membuat penjor ataupun karena terbatasnya tenaga untuk
membuat penjor ini.
Penjor
Galungan baiknya dipasang saat penampahan Galungan, dikarenakan saat penampahan
umat Hindu niyasa kebaikan yang tertanam dalam diri dan keburukan dihias agar
menjadi kebaikan. Selain itu, sesuai keyakinan bahwa leluhur akan datang ke
pemerajan dan penjor segar ini merupakan bentuk penghormatan secara sekala.
Sehingga akan lebih baik jika warnanya dari kuning dan putih dari janur dan
ambu. Selain itu, penjor juga berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya, sehingga
apa yang dipersembahkan harus segar.
Penjor
dapat dicabut pada hari Minggu (Redite Umanis Langkir sehari setelah Kuningan).
Namun, umumnya pencabutan penjor Galungan yang umum dilakukan umat Hindu di
Bali adalah pada hari Rabu 42 hari setelah hari raya Galungan pada kalender
Bali disebut Buda Kliwon Pahang atau disebut Buda Kliwon Pegat Uwakan. Setelah pencabutan
penjor, perlengkapan penjor seperti sampian, lamak serta perlengkapan upakara
Galungan lainnya dapat dibakar dan abunya sebagian disimpan pada kelapa gading
muda yang dikasturi.
Selanjutnya
dijelaskan pada hari Budha Kliwon Pahang (35 hari setelah hari raya Galungan),
abu dalam kelapa gading tersebut di atas dilengkapi dengan sarana kawangen dan
11 uang kepeng/ logam selanjutnya ditanam di pekarangan rumah atau dihanyutkan
disertai permohonan pakukuh jiwa urip (kadirgayusan). Pada Era Kekinian Bali, penjor banyak dibuat sebagai daya
tarik, terlebih pada sebuah objek wisata. Namun, banyak orang tidak paham apa
makna dari penjor, sehingga harus berisikan unsur hasil bumi.
Penjor
pada umumnya terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi
dengan daun. kelapa/ daun enau yang muda (ambu) daun-daunan lainnya (plawa).
Perlengkapannya adalah pala bungkah (umbi-umbian) misalnya ketela rambat; pala
gantung (buah-buahan) seperti kelapa, mentimun, pisang dan sebagainya; pala
wija (biji-bijian) yaitu jagung, padi dan sebagainya, jajan, 11 uang
kepeng/logam, serta sanggah lengkap dengan sesajennya.
Pada
ujung penjor digantungkan sampian penjor lengkap dengan porosan (sirih, kapur,
pinang) dan bunga. Pada hari Kuningan sesajennya dilengkapi dengan endongan,
tamiang dan kolem. Pada penjor bambu yang dihias dan dilengkapi sanggah penjor
(tempat sesajen) merupakan simbol penghormatan dan perwujudan Naga Basuki, Naga
Anantabhoga, dan Naga Taksaka, yang terus menerus menjaga kesempurnaan siklus
air di jagat raya. Dengan persembahan
sesajen, para naga yang sesungguhnya perwujudan para dewata itu, akan terus
menjaga harmoni siklus air, sehingga tetap terjaminnya kemakmuran semua mahluk
di jagat raya.
Dari
beberapa unsur yang melengkapi penjor Galungan tersebut, memiliki makna atau
simbol dari kekuatan Tuhan. Sehingga penjor untuk upacara, wajib memenuhinya
dari perlengkapan tersebut. Seperti, bambu, adalah simbol gunung dan gunung
tempat stana para Ida Sang Hyang Widi dan juga sebagai simbol kekuatan Hyang
Brahma.
Didalam
lontar Tutur Dewi Tapini juga telah disebutkan bahwa setiap unsur dalam penjor
melambangkan simbol-simbol suci yaitu Bambu
(tiying) dibungkus ambu/kasa, simbol kekuatan Dewa Maheswara. Kain putih
kuning, simbol kekuatan Dewa Iswara Sampian, simbol kekuatan Dewa Parama Siwa.
Janur, simbol kekuatan Dewa Mahadewa. Kue (jaja uli +gina), simbol kekuatan
Dewa Brahma. Kelapa, simbol kekuatan Dewa Rudra. Pala bungkah, pala gantung,
simbol kekuatan Dewa Wisnu. Tebu, sebagai simbol kekuatan Dewa Sambu.
Plawa,
simbol kekuatan Dewa Sangkara. Sanggah Cucuk, simbol kekuatan Dewa Siwa. Lamak,
simbol Tribhuana. Banten Upakara sebagai simbol kekuatan Dewa Sadha Siwa.
Klukuh berisi pisang, tape dan jaja, simbol kekuatan Dewa Boga. Ubag-abig,
simbol Rare Angon. Hiasan cili, gegantungan, simbol widyadari. Tamiang, sebagai
simbol penolak bala atau kejahatan.
Unsur-unsur
tersebut diatas diperlukan saat pembuatan penjor upacara di Bali, karena
melambangkan simbol-simbol suci yang berkaitan erat dengan nilai-nilai dan
etika Agama Hindu
Penjor merupakan simbol
dari Naga Basuki yang artinya kesejahteraan dan kemakmuran. Bagi
umat Hindu di Bali penjor
merupakan simbol gunung yang
dianggap suci. Sehingga Penjor
seyogya dipasang tepat pada hari penampahan galungan, setelah jam 12 siang. Hal
ini bermakna ketika hari raya penampahan galungan kita sebagai manusia
berperang melawan pikiran yang kotor, berperang melawan sifat negatif, dan
sifat ego. Setelah berhasil memenangkan perperangan melawan pikiran serta
sifat-sifat tersebut maka sebagai pertanda kemenangan dipasanglah penjor
sebagai simbol "kemenangan".
Editor (GA)