Hindu dresta
Bali lahir dari mem-Bali-kan Hindu dengan peradaban adat budaya bali yang
adiluhung dan bukan sebaliknya, dari dan untuk meng-Hindu-kan Bali.
Lontar-lontar yang dipadukan dengan ajaran ke-Hindu-an (Weda) menjadikan Hindu
dresta Bali sebuah keyakinan masyarakat asli Bali. Dan akan menjadi
sebuah riak-riak pergolakan jika keyakinan dan tradisi adat dipaksakan
dimodernisasi seperti halnya krematorium yang melahirkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat Hindu Bali. Berkenaan hal tersebut, pikiran jernih harus
datang dari segala penjuru untuk menyikapi dengan positif dan bermakna.
Mengingat
agama Hindu, adat dan budaya di Bali memang susah untuk dipisahkan apalagi
sengaja diberikan sekat antara ritual adat, agama (Hindu) dan Budaya pasti
menjadi prahara keyakinan. Ibaratnya agama, adat, dan budaya ibaratnya sebutir
telur, kulit, putih telur dan kuning telur. Kuning telur adalah agamanya
sedangkan kulit dan putih terlurnya adalah adat dan budayanya orang Bali.
Krematorium jika dirunut maknanya secara leksikal bermakna tempat membakar jenasah sehingga menjadi abu atau perabuan. Pertanyaannya apakah setiap orang Bali meninggal harus dibakar, tentu jawabanya adalah tidak. Literasi keyakinan dalam hal ini adalah krematorium dalam konteks Hindu dan dresta adat di Bali.
Jika
dikrematorium dalam makna umum tidak bisa dikatakan memarginalkan adat dan juga
krematorium yang terkoneksi dengan desa adat juga tidak dikatagorikan
memarginalkan adat. Krematorium adalah sebuah solusi bagi krama Bali yang
beragama Hindu jika krematorium itu terkoneksi dengan adat, dan budaya Bali,
tentu adat budaya yang juga terkoneksi dengan agama Hindu dresta Bali.
Krematorium dalam konteks keyakinan Hindu pasti harus terkoneksi dengan adat
karena desa adat mengempon Pura Khayangan tiga. Terkait dengan krematorium
(pembakaran jenasah) dalam konteks Hindu adalah sebuah ritual upacara ada kaitannya
dengan Pura Dalem Prajapati yang pasti masuk ikatan desa adat.
Melaksanakan upacara ngaben di krematorium merupakan fenomena relatif baru di Bali, dipelopori oleh Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi, yang membangun Krematorium Santhayana tahun 2008. Jumlah jenazah yang diaben di Krematorium Santhayana meningkat setiap tahun. Alasan yang paling umum melakukan upacara ngaben di Krematorium Santhayana adalah nilai praktis dan efisiensi, di samping alasan biaya yang lebih murah dan komunikasi yang kurang intensif dengan fihak desa adat, khususnya bagi warga desa yang merantau ke luar daerah. Dengan menggunakan observasi-partisipasi, wawancara mendalam, dan analisis secara kualitatif-interpretatif, penelitian ini mengkonfirmasi teori Strukturasi Giddens, bahwa sebagai suatu dualitas, struktur menjadi hambatan sekaligus memberdayakan aktor untuk bertindak, dan tindakan aktor yang berpola dalam waktu yang lama akan membentuk struktur baru. Yang khas dalam kasus ngaben di krematorium di Bali adalah adanya transformasi menuju modernitas, tetapi dengan argumentasi kembali ke tradisi, yaitu menggunakan basis ajaran leluhur yang tertulis dalam pustaka lontar, khususnya Lontar Yama Purana TattwaJangan terlalu fobia dengan kata krematorium, jangan terlalu alergi dengan kata krematorium. Krematorium jika hanya untuk membakar jenasah atau perabuan seperti mayat tanpa identitas di rumah sakit hal biasa. Sepanjang krematorium itu selalu terkoneksi dengan desa adat saat prosesi ngaben atau hanya sekadar mekinsan di geni (api) itupun bukan sebuah ancaman memarginalkan desa adat. Jika krematorium itu lepas dengan adat dan lepas dengan banjar suka duka merupakan satu ancaman bagi desa adat dan bagian dari pemarginalan desa adat. Agar krematorium menjadi sebuah solusi untuk masyarakat Hindu harus dikonekkan dengan desa adat sehingga keduanya saling menguatkan dan memudahkan.
Paket Dewa Hyang melalui jalur kremasi sebagai tren yang begitu praktis dan memudahkan menjadi satu pilihan, apakah karena simpel atau karena tidak ingin terikat oleh adat atau banjar suka duka, itu menjadi suatu pilihan? Pilihan ini jelas menjadi kontemplasi bagi orang Bali yang beragama Hindu Bali.
Pertanyaan
besar, jika semua berpikiran praktis dan simpel abai dengan adat dan banjar
suka duka siapa yang mengajegkan adat dan tradisi Bali, tentu tidak bisa
dijawab secara personal. Fenomena ini yang membuat kerisauan beberapa orang
bahwa krematorium merupakan kemajuan yang mempermudah tetapi ancaman bagi desa
adat, tentu tidak bisa disalahkan juga.
Kemajuan yang
merapuhkan adat yang perlu diantisipasi agar adat dan budaya Bali menjadi ajeg.
Jangan karena berkarier di luar desa adat lupa dan abai dengan desa adat dan
banjar suka duka sebagai marwah orang Bali. Solusinya, desa adat juga harus
fleksibel lewat istilah “lelagaan” atau
membeli ayahan sehingga
orang Bali yang berkarier di luar desa adat tidak harus meninggalkan adatnya.
Sehingga dengan alasan tidak bisa tinggal di desa adat atau ngayahang
desa, krematorium menjadi pilihan tanpa minta izin atau tidak mengkoneksikan
diri dengan adat.
Hal ini harus
mendapat perhatian dan pengertian dari krama adat dan desa adat setempat.
Alangkah baiknya jika masing-masing desa adat mengelola krematorium untuk
membantu krama desa jika ingin melakukan upacara pembakaran mayat (ngaben atau sekadar mekingsan di geni)
sehingga tidak putus dengan tradisi gotong royong di adat. Fenomena krematorium
bukan sebuah ancaman jika desa adat merangkul krama dan krematorium
dilaksanakan atas seijin dari desa adat asal krama yang memanfaatkan jasa
krematorium..
Krematorium
ditempuh pasti ada beberapa penyebab dan tujuan, tidak perlu saling menyalahkan
dan semua pasti ada jalan keluar. Jika adat yang kaku mari lenturkan sehingga
semua berjalan seiring sejalan, paras paros. Adat harus fleksibel tapi jangan
terlalu berpikir fleksibel yang berakibat merapuhkan adat dan tradisi budaya
Bali yang disebut gotong royong, menyama
braya..
Mari luruskan dan pertahankan adat Bali yang sudah dibalut dengan kekuatan keyakinan Hindu Bali sebagai spirit mempertebal rasa dan moderasi beragama kita. Jangan alergi dengan kata krematorium tetapi jangan juga krematorium melumpuhkan kesatuan adat Bali yang adiluhung yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Melumpuhkan, menistakan, atau mendebat adat demi modernisasi bagian dari perongrongan tanah dan dresta Bali. Berpikir mendunia tapi jangan tatanan adat budaya diubah hanya karena ingin dicap orang hebat sampai adat didebat yang menyebabkan Bali hanya tinggal nama dan tradisi adat menjadi tersumbat.
Pikiran yang tidak pernah tergoyahkan
merupakan kesaktian paling puncak dalam tatanan kesatuan hidup manusia Bali “ika darma dening idep pageh nerus”
dan apabila orang sampai ke pucak kesaktian dengan pengendalian pikiran yang
patut dipertahankan maka semua musuh menjadi sahabat “saluiring satrunta pada bakti ring
awakta” meluruskan yang bengkok, mengingatkan yang lupa dan
menyadarkan yang keliru “amutter
tutur pinahayu” memutar cakra kesadaran menjadi ingat “atutur” dari
kelelapan tidur “aturu.”
Sumber : berbagai
sumber
Oleh Putu Mahesa Utari