Numitis yang biasa juga disebut Punarbhawa berarti kelahiran
yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi). Di dalam Weda disebutkan bahwa
"Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang
lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat
suatu kondisi kehidupan suka dan duka.
Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena pengaruh duniawi masih sangat
kuat, sehingga daya tarik terhadap jiwatman ke duniapun akan kuat pula. Hal ini
terjadi karena manusia yang terdiri dari trisarira; stula sarira (badan kasar),
suksma sarira (badan astral) dan antakarana sarira (jiwatmaan).
Lahir, hidup mati adalah sebuah bangunan proses kehidupan.
Ini artinya kematian yang merupakan bagian dalam kehidupan ini adalah suatu
proses pemisahan ketiga unsur trisarira itu; stula sarira yang terdiri dari
pancamahabuta (api, angin, tanah, air dan either) akan dikembalikan keasalnya,
sedangkan suksma sarira merupakan bangunan yang terdiri dari sesarining panca mahabuta yang
menyelimuti sang jiwatman (seperti balon udara) akan bergerak di alam astral.
Dalam Adiparwa kita mendapatkan literasi ketika sang raja
Wirata mendengar ketiga anaknya (Utara, Seta dan Wiratsangka) gugur dalam
perang terbunuh oleh Kaurawa didalam “mucuki” laga perang Baratayuda. Sang Raja
bertanya kepada Shri Kreshna, kenapa itu terjadi. Tidak satupun tertinggalkan
semua ya semuanya harus mati. Shri Kreshna menjawab bahwa lahir hidup mati
adalah sebuah proses dalam kehidupan dan setiap atman mengharapkan dapat
seperti yang putranda lakukan yang gugur sebagai ksatria, atmannya akan
bergerak seperti mega yang akan tertiup angin sesuai dengan kodradnya menuju
sangkan paraning dumadi, sehingga tidak lagi tertarik oleh pengaruh “gravitasi”
duniawi. Itulah sesungguhnya kehidupan yang mampu memangkas kelahiran yang
berulang (punarbawa) Ini artinya sang atman sudah tidak bisa berbuat banyak
hanya mengikuti arus angin bertiup.
Jika “gravitasi” terhadap jiwatman masih kuat, maka sang jiwatman itu akan termagnitisir kembali ke bumi melalui “magnit spiritual” pertemuan antara sukla dan swanita. Pertemuan sukla dan swanita inilah sesungguhnya yang akan menarik populaning tatwa seru sekalian alam yang ada disekitarnya. Karena hal ini menjadi hukum berlaku bagi semua kehidupan apakah berwujud sebagai manusia dan atau binatang. Sudah barang tentu akan menyesuaikan “warna / frecuensi signyal” magnit yang dipancarkan.
Menurut pustaka Sarasamuccaya, khusus bagi manusia yang
dianugerahi dengan perangkat spiritual yang disebut wiweka untuk memilah dan
memilih sesuatu barang dan atau keadaan baik atau buruk, maka tidak
mengherankan jika antara orang tua (bapak dan ibu) dengan si anak memiliki
persamaan warna secara phisik seperti; warna kulit, DNA bentuk wajah dansebagainya maupun mental spiritual seperti sifat, watak sikap dll.
Jika
ditelisih lebih jauh kata kuncinya untuk mendapatkan suputra. Su berarti lebih
putra berarti anak jadi suputra dimaksudkan sebagai anak yang lebih baik.
Setiap keluarga pasti mengidam - idamkan anak suputra. Menurut pustaka
Kamasutra menjelaskan bahwa ketika terjadinya pertemuan antara sukla dan
swanita mampu menginstal magnit yang dapat memagnitisir populaning tattwa
berdasarkan ajaran dharma artinya dilakukan berdasarkan; leres (kebenaran),
lurus (kesucian) laras (berbudaya).
Sebuah literasi sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu yang merupakan bahagian Ramayana yang mengisahkan bahwa ketika begawan Wisrawa mengikuti sayembara pembabaran sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu kepada Dewi Sukesi, sang begawan terpapar nafsu birahi dengan sang dewi, sehingga hubungan sanggama tidak bisa terhindarkan. Akibat yang terjadi pertemuan sukla dan swanita yang dibangun oleh Dewi Sukesi dengan /begawan Wisrama, ketika;
• Diwarnai dengan penuh nafsu kebirahian
sebagai signal yang dipancarkan, populaning tattwa yang tertarik adalah yang
memiliki frecuensi yang sama, maka terlahirlah sebagai Rahwana dan Sarpakenaka
yang keduanya memiliki warna yang sama dengan sifat nafsu birahi yang
digambarkan sebagai rajas (jagad kepengin diemperi).
• Warna signal yang dipancarkan sudah ada
kesadaran (sudah diketahui sang ayah prabhu Somali dan dilakukan
wiwahasamskara) namun watak keraksasaannya masih mengemuka, maka yang terlahir
Kumbakarna. Kumbakarna digambarkan sanadyan warna diyu suprandene nggayuh
utami. Sifat dan sikap yang dimiliki adalah watak tamas kepengin ketenangan
enak lan kepenak.
• Kesadaran sudah mulai mengkristal
sehingga pancaan magnitnya sdah bermuatan kebenaran, maka yang tertarikpun sama
sehingga terlahir Gunawan Wibisana yang memiliki sifat satyam.
Sementara itu Rta adalah hukum yang mengatur dinamika alam
semesta. Hukum Rta yang menggerakkan bertiupnya angin, turunnya hujan, ombak di
lautan, pergerakan matahari, pergerakan planet, pergerakan bulan, pergerakan
komet, dan lainnya. Termasuk juga datangnya segala macam bencana alam seperti
tornado (angin puting beliung), badai, gunung meletus, gempa bumi, dan bencana
alam lainnya.
Didalam
perkembangannya di jaman kaliyuga manusia dalam kecenderungannya merusak
tatanan Rta itu dengan pemberdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
canggih. Kurang peduli terhadap ekosistem alam dengan dalih kebutuhan yang
diwarnai; lebih banyak nggruwak (take) dari pada ngguwak (gave) tanpa menjaga
keseimbangannya. Sebagai akibat yang terjadi adalah disharmonisasi hubungan
antara manusia dengan alam lingkungannya. Jika secara sekala dapat dengan
dikenali secara phisikal, padahal Hindu memandang alam secara utuh sekala dan
niskala. Bagaimana pengaruhnya secara niskala? Rta akan lebih cepat mendahului
kodratnya.( dari berbagai sumber, )-----------------------------
Oleh Putu Mahesa Utari,
S.Sn