"Nenek nenek, 25 hari lagi Galungan.
Berbuahlah agar lebat… lebat… lebat…,”
begitu makna kalimat berbahasa Bali yang selalu
diucapkan pada perayaan ini.
Hari itu ungkapan syukur kepada Tuhan atas
kesuburan tanaman hingga tumbuh baik dan menghasilkan buah atau bunga lebat. Hidup berdampingan dan selaras dengan alam
adalah bagian dari ajaran Tri
Hita Karana dan telah menjadi ajaran yang menjiwai hidup seluruh umat
Hindu di Bali. Menghargai alam merupakan salah satu cara untuk menjadikan (karana)
hidup lebih sejahtera (hita). Manusia hidup dari alam, oleh karenanya
manusia wajib menjaga dan menghargai alam. Adalah sebuah kesalahan besar bila
manusia tidak menghargai dan menjaga alam, sebaliknya hanya bisa mengambil
hasilnya saja untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Bahkan lebih jauh
lagi, sadar tidak sadar merusak alam lingkungan yang menghidupi lahir batinnya.
Tumpek wariga merupakan upacara berkaitan dengan
lingkungan, terutama melestarikan pohon. Doa supaya pohon berbuat lebat,
berbunga, punya kualitas bagus. Kalau bisa buah bisa untuk Galungan. Tumpek
wariga, juga disebut tumpek bubuh, tumpek uduh, tumpek pengatag, dirayakan umat
Hindu setiap 210 hari sekali, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Galungan
merupakan hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Umat
Hindu sembahyang menggunakan sarana buah dan bunga. Buah dan bunga identik
dengan berbagai upacara umat Hindu. Usai persembahyangan, buah-buahan
dikonsumsi.
Sebutan Nini ( nenek ) dalam
tumpek wariga ditujukan pada Tuhan dalam manifestasi sebagai Sang Hyang
Sangkara, penguasa segala tumbuh tumbuhan. “Agar memberikan anugerah kepada
mangga, durian, pisang, dan pohon pohon lain, supaya buah bisa cepat matang,
lalu di persembahkan pada hari raya Galungan.
Pada
hari Tumpek wariga, umat Hindu di Bali memperlihatkan nyata rasa menyayangi
tumbuhan dengan penghormatan sangat tinggi. Menyayangi tumbuhan dengan
melakukan penghormatan sangat khusus pada tingkat "memuja" merupakan
tindakan cerdas spiritual yang sangat tinggi, dan ia merupakan satu-satunya
"harta karun tradisi indah" di dunia. Dapat dipastikan, kearifan
lokal sangat mulia seperti ini tidak ada di tempat lain di dunia. Oleh karena
itu, semua mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga dan melestarikannya dalam
tekad pasti, bahwa tradisi pemujaan
Tumpek Uduh tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini.
Ada banyak cara dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Leluhur kita mengajarkan, kalau menebang satu pohon maka tanamlah 5 pohon. Sebelum memotong pohon, diawali dengan meminta izin untuk memotong pohon melalui haturan canang, dan sebagai komitmen pelestarian pepohonan, di atas bagian akar pohon yang sudah ditebang ditancapkan ranting pohon sebagai simbol menanam kembali pohon yang sama. Menanam kembali 5 pohon yang sama, logikanya, ini adalah hitungan probabilitas, teori kemungkinan. Dari 5 pohon yang ditanam belum tentu semua tumbuh. Dari yang tumbuh belum tentu semua berumur panjang. Sebuah itung-itungan yang luar biasa dari nenek moyang kita yang "sederhana".
Beberapa suku bangsa di Indonesia masih memiliki hutan yang
dikeramatkan dan hanya orang-orang tertentu saja, di wakru tertentu, yang boleh
masuk untuk mengambil sesuatu yang jenis dan jumlahnya telah ditentukan secara
adat. Salah satu contoh adalah Suku Kajang di daerah Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan. Suku Kajang memiliki hutan keramat yang disebut Borong
Karamaka. Hutan keramat ini terlarang dimasuki siapa pun kecuali ada acara
ritual.
Bagi sebagian orang, mengeramatkan hutan beserta segala isinya mungkin dianggap sebagai tahhayul dan kuno. Namun bagi orang yang berpikir bijak, pengeramatan seperti itu adalah local genius masyarakat kita dalam upaya melestarikan lingkungan. Demi menjaga dan melindungi alam, cara berpikir bijak seperti itu patut dihargai dan dihormati.
Keberadaan pohon yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan hewan, menjadi sumber mengalir yang memberi kehidupan bagi semua makhluk. Melalui proses fotosintesanya, pohon menghasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh semua makhluk untuk bernafas. Akar pohon mampu menahan tanah dan mencegah longsor. Daun-daunnya menghambat laju curah hujan sehingga menghindari tergerusnya lapisan atas tanah yang merupakan lapisan subur. Keberadaan pepohonan menandakan kawasan subur. Pohon dan tumbuhan lainnya memiliki peran penting dalam sebuah ekosistem.
Pelaksanaan upacara pada tumpek ini, masyarakat
Hindu melakukan upacara dengan menggantungkan tipat taluh atau salah satu jenis
tipat, serta dilengkapi dengan banten berisi bubur sumsum yang terbuat dari
tepung beras, ditaburi kelapa dan gula merah cair. Sesajen yang di haturkan
berupa peras, tulung sesayut, tumpeng bubur, tumpeng agung asiki, babi guling
atau guling itik, jajan, penyeneng, tetebus. Sebagai yang tertuang dalam
Tutur Lontar Bhagawan Agastyaprana menyebutkan mempersembahkan lima macam bubur
/ bubuh susmsum kepada semua tumbuh – tumbuhan / sarwa tumuwuh yang terdiri dari
Tumpek wariga memiliki tujuan untuk memohon keselamatan tanaman agar dapat
berbunga dan berbuah. Sesajen berupa sesayut cakra geni asiki sebagai symbol
penguatan hati dan pikiran untuk menumbuhkan kekuatan batin. Tumpek wariga
merupakan kearifan lokal dari para leluhur agar warga selalu menjaga lingkungan
dengan selalu menanam pohon di pekarangan. Pelajaran ini ditekankan karena
daerah pertanian, agar generasi muda paling tidak menghasilkan buah-buahan
untuk sendiri dan persembahan, bisa dijual. Kalau umat Hindu tak rajin menanam
pohon, tidak akan mendapatkan buah dari kebun. Karena itu, makna yang bisa
diambil umat Hindu mesti menanam pohon buah-buahan hingga tak impor buah.
“Setiap pekarangan longgar, ditanami buah. Jadi tidak menjadi manja, selalu
membeli di swalayan.
Pada kesempatan ini pula
Pemerintah Propinsi Bali menghimbau / menginstruksikan jajaran Pimpinan Daerah dan Mayarakat Bali yang tentunya mayoritas
beagama Hindu dalam Instruksi Gurbenur Bali Nomor 6 tahun 2022 tentang Perayaan
Rahina Tumpek Wariga dengan Upacara Wana Kerthi sebagai Pelaksanaan Tata – titi
kehidupan Masyarakat Bali berdasarkan Nilai nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi
Loka Bali dalam Bali Era Baru. Dengan melaksanakan Persembahyangan Bersama dan kegiatan
Penanaman Pepohonan Tematik ( Upacara dan Usadha / obat – obatan )serta mewarat,
memelihara, merapikan, dan memupuk tumbuh – tumbuhan dihutan dan pekarangan
masing – masing.
Editor (GA)