Pemangku merupakan
golongan orang suci diantara para umatnya di
dalam agama Hindu. Seperti dilansir
dari mutiarahindu, Pemangku hampir
serupa dengan Sulinggih hanya saja kedudukan serta
kewajiban keduanya berbeda.
Pemangku merupakan orang suci yang tergolong ekajati (lahir sekali), tingkatan pertama dari kesucian seorang Sulinggih adalah sebagai Pemangku Pura. Pemangku Pura bertugas untuk nganteb atau mengiringi upacara Yajna, sedangkan Sulinggih ada dalam golongan dwijati (lahir dua kali). Berasal dari kata Eka yang artinya satu dan Jati yang merupakan akar kata Ja yang berarti lahir. Seseorang dikatakan sebagai pemangku apabila telah melakukan upacara penyucian berupa Pawitenan. Pawitenan dapat dilakukan berulang kali oleh pemangku.
Pemangku atau yang dikenal juga dengan sebutan Pinandita juga masih diperbolehkan untuk bercukur dan berpakaian layaknya anggota masyrakat biasa karena masih memiliki tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai seorang Walaka Secara etimologi pemangku berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Pangku yang sama dengan Nampa dengan artian menyangga atau memikul beban, tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara orang yang punya kerja dengan Tuhan atau leluhur. Pemangku dapat pula diartikan sebagai seseorang yang memikul tanggung jawab sebagai pelayan Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus pelayan masyarakat.
Pemangku (Jero Mangku) atau juga
disebut Pinandita adalah orang suci yang disucikan melalui
proses Ekajati / mawinten yang mempunyai wewenang
sebagaimana dijelaskan dalam kusuma dewa, sebuah lontar yang berisikan tentang :
Gegelaran
pamangku yang meliputi kegiatan pamangku dalam urutan penyelesaian
upacara yadnya di pura.
Dan untuk
mengundang seorang pemangku untuk menyelesaikan (muput) sebuah upacara yadnya disebut
dengan Banten Penguleman sebagai wujud penghormatan
kepada beliau.
·
Selain
faktor keturunan, pemilihan pemangku dengan proses nyanjan dapat dilakukan dengan
menggunakan kewangen yang salah satunya
diisi rerajahan Ongkara kemudian kewangen itu digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut
seraya mohon panugrahan.
·
Kisah mangku Kocong sebagai
pemangku baru | dalam
belajar mantra, bahwa semakin sering
dipraktekkan semakin baik hasilnya.
Pemangku sebagai pelayan atau perantara
antara manusia dengan Sang Pencipta, Ida
Sang Hyang Widhi Wasa yang dalam Keputusan
Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke-2 tanggal 5 Desember 1968, seorang pemangku
disebutkan :
Mereka yang telah melaksanakan upacara pewintenan sampai dengan adiksa Widhi
tanpa ditapak dan amati aran.
Kata "pemangku" berasal dari kata“Pangku”
yang yang sebagaimana disebutkan dalam kutipan sesananing pemangku atau pinandita disamakan artinya dengan
·
“nampa” ,
·
“menyangga"
·
“memikul beban” atau
·
“memikul tanggung jawab”.
Dengan sesana pinandita tersebut sebagai suatu
batasan ugeran prilaku dan wiweka pemangku untuk dapat
mengetahui hal yang salah dan benar dalam memikul beban atau tanggungjawab
sebagai pelayan masyarakat atau perantara umat manusia dengan Sang Pencipta
yang dalam menjalankan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam kutipan tersebut
hendaknya berpedoman pada kitab Silakrama kepemangkuan atau
kepanditaan.
Dalam lontar Raja Purana Gama, dibedakan
menjadi dua belas jenis pemangku dilihat dari Swadharma maupun tempatnya
melaksanakan tugas sehari-hari :
1.
Pemangku Pura. Seperti pemangku kahyangan dll
2.
Pemangku Pamongmong.
3.
Pemangku Jan Banggul.
4.
Pemangku Cungkub.
5.
Pemangku Nilarta.
6.
Pemangku Pandita (sonteng dll).
7.
Pemangku Bhujangga.
8.
Pemangku Balian.
9.
Pemangku Lancuban.
10.
Pemangku Dalang.
11.
Pemangku Tukang.
12.
Pemangku Kortenu.
·
Wewenang
pemangku dalam menyelesaikan upacara upakara (yajña) sepanjang tidak bersifat
prinsipil dan atas seijin / petunjuk pandita atau nabe yang bersangkutan. Adapun
mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan
·
Terbatas
pada tingkat pedudusan alit.
Kewenangan lain yang ada pada seorang pemangku
telah di eka jati yakni dalam upacara-upacara
seperti :
·
Menyelesaikan
upacara Bhuta Yajña, sampai dengan tingkat
menggunakan Caru Panca Sata.
·
Menyelesaikan
upacara Manusa Yajña, diberi wewenang dari mulai bayi
lahir sampai dengan otonan, dan pawidhi widana tingkat kecil seperti melukat dll.
·
Di dalam
menyelesaikan upacara Pitra Yajña, terbatas sampai dengan mendem sawa (mekingsan Gni).
·
Membuat tirtha panglukatan / pabersihan dll
·
Nganteb
upakara piodalan pujawali di pura atau merajan yang diemongnya sampai
batas ayaban tertentu.
·
Nganteb (bukan muput) upakara
pada upacara yajña tertentu di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuput dari
pandita.
·
Membantu
pelaksanaan yajña tertentu dari pemangku suatu pura dengan seijinnya,
Dalam menggunakan Genta,
·
Menggunakan mantra, dan mudra tertentu bila sudah
mewinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dan ijin dari
pandita / Nabe.
Busana adat Bali yang dipergunakan berikut
perlengkapan dari seorang pemangku antara lain :
·
Rambut
panjang atau bercukur.
·
Pakaian:
destar, baju, udeng, saput (selimut), kain dalam
melakukan upacara, semuanya berwarna putih.
·
Dalam
melakukan pemujaan menggunakan: genta, dulang, pasepan, sangku (tempat air suci atau
tirtha ) bunga, Gandaksata, genitri dll
Penghargaan yang menjadi hak
pemangku / pinandita :
·
Bebas
dari ayahan desa adat;
·
Menerima
hasil pelaba pura (bila ada).
Disiplin Pemangku:
·
Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara
setiap pagi mapeningan;
·
Berpakaian sesuai dengan sesana kepinanditaan / kepemangkuan
·
dll;
Aturan
Cuntaka bagi Pemangku;
·
Tidak
kena cuntaka karena orang lain
·
Terkena
cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah meninggal dunia
·
Pemangku
istri terkena cuntaka bila haid
·
Bila
kawin / melakukan pawiwahan harus mesepuh (mewinten
ulang) dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya, bersama-sama istrinya.
·
Pemangku
yang kena hukum karena tindak pidana
(kriminal) diberhentikan sebagai pemangku oleh warganya.
·
Sawa pemangku tidak boleh
dipendem.
·
Tidak
cemer.
·
Selalu
dislipin untuk tidak membuat tirta apapun, kecuali hanya
memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
·
Larangan
– larangan yang patut dipatuhi seorang pemangku seperti yang termuat
dalam lontar Kusumadewa, "Tan wenang mangan
ulam : bawi, sampi atau sapi" dll.
1.
Pawintenan
Sari | upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini
dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku.
2.
Pawintenan
Mepedamel | dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang
untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi
Swara selaku Panabean.
3. Pawintenan Samkara Ekajati | sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron.
Beberapa kutipan tuntunan pemangku di dalam melaksanakan upacara Dewa Yadnya :
·
Ngastawa Bajra, Sebelumnya bajra
disiratin tirtha, ukup di dhupa, baru ngaskara.
·
Ngaksama
·
Nunas Waranugraha, untuk memohon anugerah
dalam berbagai macam wujud dan bentuk.
·
Panca Aksara Stawa, untuk
memohon karunia tersendiri dalam menyelamatkan jiwa.
·
Ngurip Tirtha, melalui mantra weda yang mampu menumbuhkan
perasaan dan atau pikiran suci.
·
Ngemargiang Pecaruan untuk keharmonisan dan
keseimbangan alam ini.
·
Nganteb sesayut, dalam mendoakan
·
Upasaksi bertujuan untuk menyatakan
kebenaran perbuatan seseorang
·
Nganteb banten antuk Tri Bhuwana Stawa.
·
Ngayab ke luhur.
·
Ngayabin Peras, "OM Ekawara, Dwiwara, Triwara Caturwara,
Pancawara, Purwa pras prasiddha rahayu".
·
Ngaksama,
selesai itu menghaturkan sembah, misalnya, Panca Sembah.
·
Lalu
semua yang hadir diperciki tirtha dan diberi bija.
·
Setelah
itu pemangku kembali menghaturkan Pengaksama
Editor (GA)