21985 / 21446
kesrasetda@bulelengkab.go.id
Bagian Kesejahteraan Rakyat

Arti Pemangku dalam Adat Bali dan Asal Usulnya, Beda dengan Sulinggih

Admin kesrasetda | 29 Juni 2022 | 16304 kali


Pemangku merupakan golongan orang suci diantara para umatnya di dalam agama Hindu. Seperti dilansir dari mutiarahindu, Pemangku hampir serupa dengan Sulinggih hanya saja kedudukan serta kewajiban keduanya berbeda.

Pemangku merupakan orang suci yang tergolong ekajati (lahir sekali), tingkatan pertama dari kesucian seorang Sulinggih adalah sebagai Pemangku Pura. Pemangku Pura bertugas untuk nganteb atau mengiringi upacara Yajna, sedangkan Sulinggih ada dalam golongan dwijati (lahir dua kali). Berasal dari kata Eka yang artinya satu dan Jati yang merupakan akar kata Ja yang berarti lahir. Seseorang dikatakan sebagai pemangku apabila telah melakukan upacara penyucian berupa Pawitenan. Pawitenan dapat dilakukan berulang kali oleh pemangku.

Pemangku atau yang dikenal juga dengan sebutan Pinandita juga masih diperbolehkan untuk bercukur dan berpakaian layaknya anggota masyrakat biasa karena masih memiliki tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai seorang Walaka Secara etimologi pemangku berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Pangku yang sama dengan Nampa dengan artian menyangga atau memikul beban, tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara orang yang punya kerja dengan Tuhan atau leluhur. Pemangku dapat pula diartikan sebagai seseorang yang memikul tanggung jawab sebagai pelayan Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus pelayan masyarakat.

Pemangku (Jero Mangku) atau juga disebut Pinandita adalah orang suci yang disucikan melalui proses Ekajati / mawinten yang mempunyai wewenang sebagaimana dijelaskan dalam kusuma dewa, sebuah lontar yang berisikan tentang :

Gegelaran pamangku yang meliputi kegiatan pamangku dalam urutan penyelesaian upacara yadnya di pura.

Dan untuk mengundang seorang pemangku untuk menyelesaikan (muput) sebuah upacara yadnya disebut dengan Banten Penguleman sebagai wujud penghormatan kepada beliau.

·                Selain faktor keturunan, pemilihan pemangku dengan proses nyanjan dapat dilakukan dengan menggunakan kewangen yang salah satunya diisi rerajahan Ongkara kemudian kewangen itu digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut seraya mohon panugrahan.

·                Kisah mangku Kocong sebagai pemangku baru | dalam belajar mantra, bahwa semakin sering dipraktekkan semakin baik hasilnya.

 

Pemangku sebagai pelayan atau perantara antara manusia dengan Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dalam Keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke-2 tanggal 5 Desember 1968, seorang pemangku disebutkan :

Mereka yang telah melaksanakan upacara pewintenan sampai dengan adiksa Widhi tanpa ditapak dan amati aran. 

 

Kata "pemangku" berasal dari kata“Pangku” yang yang sebagaimana disebutkan dalam kutipan sesananing pemangku atau pinandita disamakan artinya dengan

·                “nampa” , 

·                “menyangga"

·                “memikul beban” atau 

·                “memikul tanggung jawab”. 

Dengan sesana pinandita tersebut sebagai suatu batasan ugeran prilaku dan wiweka pemangku untuk dapat mengetahui hal yang salah dan benar dalam memikul beban atau tanggungjawab sebagai pelayan masyarakat atau perantara umat manusia dengan Sang Pencipta yang dalam menjalankan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam kutipan tersebut hendaknya berpedoman pada kitab Silakrama kepemangkuan atau kepanditaan. 

 

Dalam lontar Raja Purana Gama, dibedakan menjadi dua belas jenis pemangku dilihat dari Swadharma maupun tempatnya melaksanakan tugas sehari-hari :

1.             Pemangku Pura. Seperti pemangku kahyangan dll

2.             Pemangku Pamongmong.

3.             Pemangku Jan Banggul.

4.             Pemangku Cungkub.

5.             Pemangku Nilarta.

6.             Pemangku Pandita (sonteng dll).

7.             Pemangku Bhujangga.

8.             Pemangku Balian.

9.             Pemangku Lancuban.

10.         Pemangku Dalang.

11.         Pemangku Tukang.

12.         Pemangku Kortenu.


Kewenangan dan hak seorang pemangku sebagaimana dijelaskan dalam kutipan tersebut :

·                Wewenang pemangku dalam menyelesaikan upacara upakara (yajña) sepanjang tidak bersifat prinsipil dan atas seijin / petunjuk pandita atau nabe yang bersangkutan. Adapun mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan 

·                Terbatas pada tingkat pedudusan alit

Kewenangan lain yang ada pada seorang pemangku telah di eka jati yakni dalam upacara-upacara seperti :

·                Menyelesaikan upacara Bhuta Yajña, sampai dengan tingkat menggunakan Caru Panca Sata.

·                Menyelesaikan upacara Manusa Yajña, diberi wewenang dari mulai bayi lahir sampai dengan otonan, dan pawidhi widana tingkat kecil seperti melukat dll.

·                Di dalam menyelesaikan upacara Pitra Yajña, terbatas sampai dengan mendem sawa (mekingsan Gni).

·                Membuat tirtha panglukatan / pabersihan dll

·                Nganteb upakara piodalan pujawali di pura atau merajan yang diemongnya sampai batas ayaban tertentu.

·                Nganteb (bukan muput) upakara pada upacara yajña tertentu di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuput dari pandita.

·                Membantu pelaksanaan yajña tertentu dari pemangku suatu pura dengan seijinnya,

Dalam menggunakan Genta,

·                Menggunakan mantra, dan mudra tertentu bila sudah mewinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dan ijin dari pandita / Nabe.

Busana adat Bali yang dipergunakan berikut perlengkapan dari seorang pemangku antara lain :

·                Rambut panjang atau bercukur.

·                Pakaian: destar, baju, udeng, saput (selimut), kain dalam melakukan upacara, semuanya berwarna putih.

·                Dalam melakukan pemujaan menggunakan: genta, dulang, pasepan, sangku (tempat air suci atau tirtha ) bunga, Gandaksata, genitri dll

Penghargaan yang menjadi hak pemangku / pinandita :

·                Bebas dari ayahan desa adat;

·                Menerima punia sesari;

·                Menerima hasil pelaba pura (bila ada).

Disiplin Pemangku:

·                Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan;

·                Berpakaian sesuai dengan sesana kepinanditaan / kepemangkuan

·                dll;

Aturan

Cuntaka bagi Pemangku;

·                Tidak kena cuntaka karena orang lain

·                Terkena cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah meninggal dunia

·                Pemangku istri terkena cuntaka bila haid

·                Bila kawin / melakukan pawiwahan harus mesepuh (mewinten ulang) dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya, bersama-sama istrinya.

·                Pemangku yang kena hukum karena tindak pidana (kriminal) diberhentikan sebagai pemangku oleh warganya.

·                Sawa pemangku tidak boleh dipendem.

·                Tidak cemer.

·                Selalu dislipin untuk tidak membuat tirta apapun, kecuali hanya memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

·                Larangan – larangan yang patut dipatuhi seorang pemangku seperti yang termuat dalam lontar Kusumadewa, "Tan wenang mangan ulam : bawi, sampi atau sapi" dll.

Dalam mewujudkan pamangku yang ideal, disebutkan hendaknya pemangku menguasai materi tattwa sehingga bila materi tattwa tersebut telah dipahami, maka pemangku itu dapat mulat sarira, ngeret indriya, serta dapat mengendalikan diri secara kadhyatmikan, kajnanan, kaprajnan, dan kawisesan sebagai Pemangku yang sejati.

Perihal tingkatan pawintenan kepemangkuan menurut girikusuma sebagaimana disebutkan ada tiga tingkatan yaitu :

1.             Pawintenan Sari | upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku.

2.             Pawintenan Mepedamel | dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean.

3.             Pawintenan Samkara Ekajati | sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron.


Beberapa kutipan tuntunan pemangku di dalam melaksanakan upacara Dewa Yadnya :

·                Ngastawa Bajra, Sebelumnya bajra disiratin tirtha, ukup di dhupa, baru ngaskara.

·                Ngaksama

·                Nunas Waranugraha, untuk memohon anugerah dalam berbagai macam wujud dan bentuk.

·                Panca Aksara Stawa, untuk memohon karunia tersendiri dalam menyelamatkan jiwa.

·                Ngurip Tirtha, melalui mantra weda yang mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci.

·                Ngemargiang Pecaruan untuk keharmonisan dan keseimbangan alam ini.

·                Nganteb sesayut, dalam mendoakan

·                Upasaksi bertujuan untuk menyatakan kebenaran perbuatan seseorang 

·                Nganteb banten antuk Tri Bhuwana Stawa.

·                Ngayab ke luhur.

·                Ngayabin Peras, "OM Ekawara, Dwiwara, Triwara Caturwara, Pancawara, Purwa pras prasiddha rahayu". 

·                Ngaksama, selesai itu menghaturkan sembah, misalnya, Panca Sembah

·                Lalu semua yang hadir diperciki tirtha dan diberi bija

·                Setelah itu pemangku kembali menghaturkan Pengaksama

 

Editor (GA)