21985 / 21446
kesrasetda@bulelengkab.go.id
Bagian Kesejahteraan Rakyat

ASPEK WARIGA PADA BANTEN – CARU AGAMA HINDU BALI

Admin kesrasetda | 20 Februari 2019 | 4912 kali

Om Suastiastu,

Dalam pengahayatan dan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, telah dikenal tiga kerangka Agama Hindu yaitu : Tatwa, Susila dan Upacara, dari Tatwanya umat akan mendapatkan pengetahuan tentang ajaran – ajaran ketuhanan Dari Ajaran Susila umat akan mendapatkan Pengetahuan bagaimana perilaku manusia sebagai mahluk tertinggi ciptaan tuhan. Sedangkan dari Upacara, umat akan mendapatkan tuntunan bagaimana melaksanakan Upacara Agama yang benar sesuai dengan sastranya

Dari ketiga Unsur  itu Tatwanya akan tampak sama karena bersumber pada Weda sebagai Buku suci Agama Hindu, jadi Hindu dimanapun berada mesti sama dalam pemahaman tentang tatwanya akan tetapi dari Unsur  susila akan tampak perbedaan – perbedaan perilaku umat Hindu yang ada disatu daerah dengan umat Hindu di daerah lain. Hal inilah yang sering dikatakan adat yaitu perilaku manusia yang ditata menurut tampatnya berada, dimana penataannya itu sering disebut dengan Tata Krama. Begitu pula dari unsur Upacara, manakala umat Hindu melaksanakan upacara upacara agama, akan tampak terlihat wujudnya berupa seni – budaya, namun dasar landasannya adalah tetap tatwa – weda. Ucapan mantam, dikumandangkan dengan seni suara berupa kidung, kemudian tata pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk seni - tari berupa Rejang, Pendet, Baris dan wayang didiringi pula dengan seni - tabuh berupa gong , gender, Gambang, angklung yang juga terlihat pula pada seni -  supa berupa lukisan Pengider – ider, Kajang dan patung. Kesemuanya itu dilaksanakan menurut waktu yang tepat, dan ada tempat yang tepat pula. Untuk penetapan waktu – tempat serta bentuk – jenis upacara, itu mengacu pada lontar Tatwa – Wariga.

Begitulah umat Hindu di Bali memahami ajaran Agama Hindu berdasarkan Tatwa melalui tulisan lontar, dan pelaksanaannya diwujudkan menurut seni budaya bali, sehingga sering dikatakan, Agama Hindu dibali, diberikan identitas Hindu – Bali. Adat Bali mengatur tata krama, Umat Hindu – Bali agar berprilaku susila, sdengakan melalui seni budaya Bali umat Hindu Bali atau krama Bali menata upacaranya.

Bagi mereka yang telah memahami hal ini, akan bangga dan yakin apa yang dilaksanakan itu adalah benar menurut ajaran Agama Hindu dengan Budaya Bali. Terkait dengan pelaksanaan Upacara Agama Hindu, Khusus Upacara Bhuta Yadnya yang terkait Banten Caru demi sukses pelaksanaanya ditentukan oleh Tri Manggalaning Yadnya yaitu Pemuput, Mancagra dan Yadnyamana. Unsur Pemuput dilakukan oleh pinandita, Sulinggih atau penglingsir yang mendapat tugas untuk itu. Mancagra secara khusus dilaksanakan oleh sarati banten termasuk juga ‘’ Jro Patus ‘’, sedangkan yadnyamana adalah sang madruwe yadnya, krama yang melaksanakan upacara, terkait pula dengan desa – tempat, Kala – waktu, dan patra – keadaan dan sastra yang dipakai acuan.

Dalam Kitab samhita swara, arti kata caru  adalah indah, harmonis jadi dalam melaksanakan Upacara Caru adalah bertujuan untuk menciptakan keharmonisan. Keharmonisan Hubungan Manusia dengan Alam/ Bhuta

Dalam Kitab Sarasamuscaya 135. Disebutkan bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup, memdapatkan Dharma, Arta, Kam, dan Moksa. Maka terlebih dahulu harus melakukan Bhuta Hita, Buta Hita Artinya Mengharmoniskan alam dan Lingkungannya. Untuk Menciptakan Bhuta Hita itulah dengan melakukan Bhuata Yadnya jadi Hakekat Bhuta Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan Alam, Agar alam itu tetap lestari, Harmonis, Indah.

Keharmonisan pelaksanaan Upacara Bhuata Yadnya ditentukan pula oleh besar kecilnya upacara yang terkait dengan banten dan waktu pelaksanaannya yakni segehan dan tawur. Sebagai dasar segehan atau tawur dalam banten caru mesti terpadu dengan warna tempat arah urip mantram dan waktu yang tepat dalam pelaksanaannya. Keterpaduan inilah tersuratkan dalam wariga sebagai dasar padewasaan atau ala ayuning Dina. Jadi wariga dewasa bukanlah sebatas menetapkan waktunya saja, namun semua unsur yang terkait dalam banten – upakara.

Hal – hal yang tersuratkan pada sastra wariga, Yakni :

  1. Tempat – arah , Urip, Dewa dan Wewaran.
  • Timur – Purwa :        Warna Putih, Urip 5, Dewa ISwara, Wewaran Umanis.
  • Selatan – Daksina :        Warna Merah, Urip 9, Dewa Brahma, Wewaran Paing
  • Barat – Pascima :        Warna Kuning, Urip 7, Dewa Mahadewa, Wewaran Pon
  • Utara – Utara :        Warna Hitam, Urip 4, Dewa Wisnu, Wewaran Wage
  • Tengah – Madya :        Pancawarna, Urip 8, Dewa Siwa, Wewaran Kliwon.
  1. Waktu-pelaksanaann : We-Pa-Tang-Sa-Da.
  • Wewaran :        Kajeng Kliwon
  • Pawukon :        Larangan Untalgalung
  • Pangkon :       Tilem
  • Sasih :       Kesanga
  • Dawuh :        Kalitepet, Sandikala.
  1. Waktu Berkala
  • Tawur Kesanga :        Tilem Kesanga Tiap Tahun
  • Tawur Panca Wali Krama : Tilem Kesanga Tiap 10 Tahun
  • Tawur Eka Dasa Ludra : Tilem Kesanga Tiap 100 Tahun

Jadi wariga merupakan Jyostisha Angga, yang merupakan bagian dari weda, sangat berperan sebagai pedoman dalam setiap kegiatan dalam kehidupan ini. Sehingga aspek wariga dalam banten caru, Upacara Agama Hindu Bali sangatlah penting dan berperan dalam menata Banten Upacara tersebut sehingga pelaksanaan Upacaranya terlaksana dengan sukses ayunulus ‘’ Sida Labda Karya ‘’

Om Ksama Sampurna Ya Nama Swaha

Om Santhi, Santhi, Santhi Om

dibuat Oleh : Desak Ketut Armini, S,S. M,Si.

Sumber Artikel : I Gede Marayana