21985 / 21446
kesrasetda@bulelengkab.go.id
Bagian Kesejahteraan Rakyat

TRI HITA KARANA DAN RELEVANSINYA DALAM PENGENDALIAN PANDEMI COVID-19

Admin kesrasetda | 14 Desember 2020 | 92820 kali

Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.

Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab).

 Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:

  1. Manusia dengan Tuhannya.
  2. Manusia dengan alam lingkungannya.
  3. Manusia dengan sesamanya.

 Unsur- unsur Tri Hita Karana.

Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi: Sanghyang Jagatkarana, Bhuana, dan Manusia. Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut: 

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk

 Yang memiliki makna :

 Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. 

Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:

Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa

Praja = Manusia

 Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya

 Sebagaimana diuraikan di atas, Tri  Hita Karana memiliki elemen/subsistem Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Dalam realisasinya,  Parhyangan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dapat diartikan sama dengan pola pikir/konsep/nilai. Pawongan yang  artinya hubungan manusia dengan sesamanya, sama  dengan elemen sosial. Dan Palemahan yaitu hubungan manusia  dengan alam sekitar sama dengan elemen artefak. Dalam implementasinya upacara atau ritual yang dilakukan menekankan kepada konsep Palemahan  dimana mengadakan hubungan harmonis dengan alam sekitar dan lingkungan sekitar untuk menjaga keseimbangan di bumi ini.

Konsepsi Prahyangan dalam Tri Hita Karana dijelaskan adanya hubungan harmonis antara Tuhan dengan manusia, dalam artian bahwa setiap kegiatan yang berupa keagamaan akan dihubungkan dengan sang pencipta. Dapat dilihat dari beberapa paparan di atas mengenai beberapa ritual atau upacara yang dilaksanakan berhubungan dengan sang pencipta yang dikaitkan dengan tradisi dan adat-istiadat.

Parhyangan merupakan hubungan yang terjalin antara Manusia dengan Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan, yang di dalam tubuh seseorang terdapat atman yang merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan yang menyebabkan manusia  bisa  hidup. Dalam ajaran Agama Hindu, dapat diwujudkan dengan  Dewa Yadnya yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa, bukan hanya persembahan kepada Dewa Yadnya tetapi terdapat juga terdapat persembahan kepada Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Dan segala ritual atau upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali tentunya berkaitan dengan pandemi Covid-19 agar terjadin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan agar terlindungi dari virus tersebut. 

Elemen kedua dari Tri Hita Karana, terdapat konsepsi Palemahan di mana merupakan hubungan yang terjalin antara Manusia dengan alam lingkungan di sekitarnya. Hubungan manusia dengan alam dapat tercipta dengan lingkungan yang mencakup tumbuhan, hewan, dan hal yang bersifat sekala-niskala. Menjaga kebersihan dan keseimbangan lingkungan di sekitar, mutlak harus dilakukan oleh manusia. Mengingat hasil riset yang menunjukkan bahwa virus SARS-Cov 2 ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui penularan sentuhan, maka dari itu masyarakat diwajibkan untuk selalu mencuci tangan agar terjamin kesehatannya.

Sisi positif yang bisa kita petik dari pandemi ini adalah masyarakat dapat menjaga alam ini dengan baik atau dengan kata lain dapat mulat sarira (mawas diri atau pengendalian diri yaitu dengan jalan introspeksi diri) di masa pandemi ini. Seperti yang dikutip dalam Lontar Rogha Sanghara Bumi. Lontar ini merupakan salah satu referensi yang berisi antara lain beberapa upacara serta sesajinya guna menetralisasi dari bencana di bumi. Tujuannya agar manusia kembali introspeksi dalam menjaga keseimbangan alam bumi.

 Selain dengan adanya upacara atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat di Bali, langkah lain yang dilakukan adalah dengan menggandeng Pecalang Adat untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah guna menjaga keamanan, kenyamanan, serta ketertiban selama adanya pandemi ini. Sehingga  dibentuklah Satuan Tugas Gotong Royong Pencegahan Covid-19 berbasis desa adat. Satgas Gotong Royong di lingkungan desa adat tersebut memiliki tugas untuk memberdayakan seluruh warga desanya agar bergotong royong bersama dalam mencegah penyebaran Covid-19 baik secara secara sekala dan niskala.

Dalam kesehariannya, Pecalang Adat bersama petugas keamanan lainnya rutin melakukan patroli di wilayah desa adatnya masing-masing untuk memastikan situasi di wilayahnya kondusif sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, dalam fungsi pengawasan, tim keamanan gabungan akan meminta tempat usaha yang masih buka melebihi aturan jam operasional yang telah ditetapkan untuk segera menutup lokasi usahanya biasanya jam operasional mereka dibatasi sampai jam 21.00 WITA. Termasuk apabila masih ada ditemukan warga yang berkumpul di luar rumah, mereka juga akan diminta untuk segera membubarkan diri.

Dalam konteks Pecalang Adat ini, Tri Hita Karana masuk dalam ranah Pawongan, di mana Pawongan merupakan hubungan yang terjalin antara manusia dengan sesamanya. Manusia adalah makhluk sosial, manusia juga harus menjaga hubungan keharmonisan dengan keluarga, teman, dan orang disekitarnya. Maka dari itu tugas Pecalang Adat sangatlah diperlukan apalagi pada masa pandemi Covid-19 terlebih lagi saat ini pemerintah tengah menyiapkan penerapan tatanan kehidupan baru atau new normal, upaya lebih tegas dilakukan pecalang untuk mendisiplinkan warga yang melanggar protokol kesehatan dan tidak melengkapi diri dengan surat jalan dari masing-masing perusahaan serta surat keterangan negatif covid-19 bagi pendatang yang tiba di Bali. Semangat dan sinergitas dari masyarakat Bali ini diperlukan untuk membangun Indonesia Bahagia agar dapat menghadapi pandemi di era saat ini.

Masa pandemi Covid-19 membuat masyarakat Bali harus menyesuaikan diri dengan lingkungan, karena mereka diharuskan untuk selalu mematuhi protokol Kesehatan, yaitu Menggunakan masker, Mencuci tangan dengan sabun sesering mungkin, dan Menjaga jarak. Semoga Pandemi Covid 19 segera bisa terkendali.

SEMOGA BERMANFAAT

 Sumber : MERTAYASAMANGKU.BLOGSPOT.COM